Malang, Jurnalpagi.id – Rencana pengadaan laptop senilai Rp1,521 miliar untuk sekolah-sekolah di Kabupaten Malang menuai kritik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Masyarakat Demokrasi Anti Korupsi (MERAK). Ketua LSM Merak, Mochamad Mochtar, mempertanyakan efektivitas penggunaan laptop dibandingkan komputer desktop dalam mendukung digitalisasi pendidikan.
Dana yang bersumber dari APBD ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui teknologi. Namun, LSM Merak khawatir laptop lebih rentan dibawa pulang oleh guru untuk keperluan pribadi, sehingga mengurangi efektivitasnya di sekolah. “Siapa yang bertanggung jawab jika laptop rusak saat dibawa pulang? Apakah spesifikasi laptop sudah sesuai dengan kebutuhan belajar di kelas?” tanya Mochtar.
LSM Merak menyarankan agar sebagian dana dialihkan untuk pengadaan komputer desktop. “Komputer desktop lebih sulit dibawa pulang dan lebih fokus untuk digunakan di sekolah. Dengan anggaran yang sama, kita bisa mendapatkan lebih banyak komputer desktop untuk laboratorium komputer,” jelasnya.
Proses lelang untuk laptop Core i7 ini telah dimulai sejak akhir Mei 2025, dengan target pengadaan 30 paket yang masing-masing berisi 3 laptop. Bagian Perlengkapan Kabupaten Malang bertanggung jawab atas pengadaan ini. Selain itu, terdapat juga anggaran Rp3 miliar untuk pengadaan 30 Smartboard ukuran 65 inch. “Apakah investasi besar ini benar-benar akan meningkatkan kualitas belajar mengajar, atau justru menimbulkan masalah baru dalam penggunaannya?” tanya Mochtar.
Kontras dengan Isu Nasional: Korupsi dalam Pengadaan Chromebook
Kritik terhadap pengadaan laptop di Malang ini muncul di tengah sorotan nasional terhadap program digitalisasi pendidikan yang justru terindikasi korupsi. Pengadaan Chromebook di sekolah-sekolah negeri, yang seharusnya menjadi langkah maju dalam menjembatani kesenjangan digital, justru diwarnai praktik penyimpangan anggaran.
Program pengadaan Chromebook seringkali tidak dibarengi dengan pemetaan kebutuhan yang akurat. Banyak sekolah menerima perangkat tanpa infrastruktur pendukung yang memadai, seperti listrik stabil, koneksi internet, atau pelatihan guru. Akibatnya, Chromebook hanya menjadi “kotak mahal” yang tidak termanfaatkan.
Selain itu, pengadaan ini terindikasi sarat dengan permainan harga. Spesifikasi perangkat yang seharusnya terjangkau, melonjak drastis dalam dokumen pengadaan. Hal ini memicu dugaan korupsi yang merugikan negara dan mengorbankan masa depan anak-anak Indonesia.
Reformasi Tata Kelola Digitalisasi Pendidikan Mendesak
Situasi ini menegaskan perlunya reformasi total dalam tata kelola digitalisasi pendidikan. Pengadaan alat teknologi tidak boleh hanya menjadi proyek anggaran tahunan, tetapi harus berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Keterlibatan guru, kepala sekolah, dan siswa dalam perencanaan menjadi penting agar tidak terjadi pemborosan dan salah sasaran.
Proses pengadaan harus transparan dan diawasi oleh lembaga independen. Audit menyeluruh, baik terhadap keuangan maupun efektivitas implementasi, harus dilakukan secara berkala. Teknologi seharusnya menjadi alat pemerdekaan intelektual, bukan alat memperkaya elite birokrat.
Semoga kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali dan dunia pendidikan dapat terbebas dari praktik korupsi yang merugikan. (adi)
No comments yet.