KASUS dugaan tindak pidana korupsi di LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) yang saat ini dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi polemik baru dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah terlebih dahulu melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kerugian negara triliunan rupiah yang dilakukan oleh oknum LPEI dan perusahaan yang mendapatkan kucuran dana dari negara.
Menanggapi ramainya pemberitan tentang rebutan penanganan perkara tersebut maka yang menjadi pertanyaan adalah aparat penegak hukum mana yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan dalam hal tindak pidana korupsi.
Sebelum itu, kita lihat dulu payung hukum dari masing-masing lembaga penegak hukumnya yaitu Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-undang nomor Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan Pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Penjelasan umum dari UU Kejaksaan menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU.
Contoh dari kewenangan kejaksaan diantaranya berwenang menangani pidana tentang Hak Asasi Manusia seperri yang disebutkan dalam UU nomor 26 tahun 2000, dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi yakni UU 32/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, dan UU 30/2002 tentang KPK.
Kewenangan KPK diatur dalam Pasal 6 UU KPK yakni KPK bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam Pasal II UU KPK tentang batasan kewenangan membatasi dimana KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau menyangkut kerugian negara diatas satu milyar rupiah.
Dalam penjelasan UU KPK mempertegas bahwa tidak semua perkara korupsi menjadi kewenangan KPK namun terbatas pada perkara-perkara korupsi yang memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan diatas.
Dari penjelasan diatas maka ditarik kesimpulan bahwa dua lembaga penegak hukum tersebut sama-sama mempunyai kewenangan dalam hal penegakan hukum dibidang tindak pidan korupsi.
Tidak ada yang salah atas apa yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam mengusut dugaan korupsi di LPEI. Apalagi kejaksaan sudah melakukan penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan di pengadilan sejak tahun 2021. Sedangkan KPK baru melakukan penyidikan pada tahun 2023.
Saran dari penulis adalah dengan melakukan penyidikan secara kolektif atau gabungan dimana KPK dan kejaksaan masing-masing menunjuk penyidiknya untuk bersama sama melakukan penyidikan mega korupsi di LPEI. Tidak ada yang sulit sebenarnya apabila petinggi Kejaksaan dan KPK untuk mengedepankan penegakan hukum yang absolut dan mengesampingkan ego dengan merasa sama-sama punya kewenangan hukum serta satu suara untuk Indonesia bersih dari Korupsi. (*)
Andi Mulya, SH.MH. (Penulis adalah praktisi hukum dan aktivis Masyarakat Demokrasi Anti Korupsi)
No comments yet.