Penulis Artikel : Aradania Larasati Budiman, Dwi Natalia, Joanne Krisna Immanuella – Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Surabaya | jurnalpagi.id
Komunikasi adalah jenis proses sosial yang erat kaitannya dengan aktivitas manusia sebagai syarat akan pesan maupun perilaku, karena komunikasi juga seseorang dapat menyampaikan sebuah berita, saling bertukar informasi, mngajukan gagasan ataupun ide baik dengan individu atau kelompok.
Pada media sosial , baik seorang individu ataupun kelompok berinteraksi satu sama lain secara online melalui internet, hal ini memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dengan publik. Sosial media merupakan produk komunikasi secara daring yang sering digunakan oleh masyarakat untuk mengkomunikasikan banyak hal, baik pribadi hingga komersial.
Hadirnya sosial media dalam keseharian masyarakat juga menimbulkan banyak dampak positif dan negatif. Salah satu dampak digitalisasi yang akan kita bahas mengenai sosial media kali ini adalah timbulnya dilema akan fenomena “No Viral No Justice” dalam beberapa kasus hukum.
Fenomena “No Viral No Justice” atau yang bisa diartikan dengan apabila tidak viral, maka akan sulit mendapat keadilan.
Fenomena ini sebenarnya mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap aparat pengeak hukum yang dinilai lambat untuk menangani kasus sebelum kasus tersebut menjadi viral di sosial media. Fenomena ini terdengar seperti cara mudah agar masyarakat bisa mendapatkan keadilan atas kasusnya apabila telah diviralkan. Namun nyatanya, hal ini justru menimbulkan suatu standar ganda keadilan yang lagi-lagi berujung pada ketidakadilan bagi kasus masyarakat kecil.
Seperti pada kasus yang kami jumpai di firma hukum tempat kami menempuh Kuliah Kerja Praktik (KKP). Dimana A seorang istri yang menemukan bukti foto bahwa suaminya berselingkuh dengan seorang pejabat. Pada kasus ini, A pada akhirnya mendapatkan tuduhan pelanggaran UU ITE atas tersebarnya bukti foto yang ia temukan tersebut.
Dalam fenomena “No Viral No Justice”, apabila seseorang yang menjadi korban atas suatu kasus melawan orang yang lebih berkuasa, mereka seringkali dilaporkan kembali atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak dapat berdiri sendiri.
Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE perlu didasari oleh Pasal 310 KUH Pidana. Dan perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 310 Ayat (3) KUH Pidana disebutkan bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”
Dalam hal ini, penyebaran bukti perselingkuhan atau perzinahan antara suami A dengan seorang pejabat tersebut tidak termasuk dalam kategori pencemaran nama baik.
Hal ini dikarenakan oleh fakta bahwa seorang pejabat melakukan perzinahan. Dengan kata lain, apabila A benar-benar menyebarkan foto bukti perzinahan tersebut, maka A hanya memberikan bukti kriminal yang dilakukan oleh seorang pejabat kepada masyarakat untuk kepentingan umum. Karena tentu saja perzinahan yang dilakukan oleh pejabat tersebut merusak martabat, citra, dan kredibilitas instansi milik pejabat tersebut.
Maka menurut pendapat kami, fenomena “No Viral No Justice” masih memiliki payung hukum bagi masyarakat untuk memviralkan kasus mereka demi mendapatkan keadilan. Dengan catatan penting bahwa asalkan kasus yang diviralkan tersebut sesuai dengan fakta yang terjadi dan dengan tujuan demi kepentingan umum dan/atau untuk membela diri.
No comments yet.