TERKINI

Restorative Justice bagi Pengguna Narkotika: Pendekatan Humanis dalam Penegakan Hukum di Ditresnarkoba Polda Jawa Timur

Mar 18 202599 Dilihat

Penulis Artikel : Gusti Rizky Dwi Saputra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabata

Surabaya | jurnalpagi.id

Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dampak negatif yang ditimbulkan tidak hanya menyentuh aspek kesehatan individu, tetapi juga merambah pada kehidupan sosial, ekonomi, dan keamanan negara. Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus penyalahgunaan narkotika, Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Jawa Timur memiliki peran penting dalam menangani para pelaku, termasuk pengguna yang tertangkap dalam operasi penindakan. Sejalan dengan pendekatan hukum, konsep restorative justice mulai diterapkan dalam kasus-kasus tertentu guna memberikan solusi yang lebih efektif dan berkeadilan.


Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian perkara yang berorientasi pada pemulihan keadaan, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat yang terdampak oleh suatu tindak pidana. Dalam penyalahgunaan narkotika, restorative justice bertujuan untuk mengalihkan pengguna dari proses peradilan pidana menuju rehabilitasi yang lebih berfokus pada pemulihan hukuman. Pendekatan ini didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa pengguna narkotika dapat diberikan rehabilitasi medis dan sosial sebagai bentuk penyelesaian yang lebih berorientasi pada kesehatan dan pemulihan sosial.


Menyadari banyaknya permasalahan tentang penyalahgunaan narkotika, sistem peradilan pidana di Indonesia mulai mengadopsi pendekatan alternatif yang lebih berorientasi pada pemulihan, salah satunya melalui konsep restorative justice. Konsep ini menawarkan penyelesaian perkara yang tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga memperhatikan pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat yang terdampak. Dalam kasus penyalahgunaan narkotika, pendekatan restorative justice diarahkan untuk mengalihkan pengguna dari proses peradilan pidana menuju rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menegaskan bahwa pengguna narkotika yang bukan bagian dari jaringan peredaran gelap harus diprioritaskan untuk menjalani rehabilitasi medis.


Di tingkat penegakan hukum, Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Jawa Timur memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan ini. Sebagai salah satu unit kepolisian yang bertugas menangani tindak pidana narkotika, Ditresnarkoba Polda Jawa Timur tidak hanya berfokus pada upaya pemberantasan peredaran narkotika, tetapi juga bertanggung jawab dalam menentukan perlakuan hukum yang tepat bagi setiap pelaku yang tertangkap. Melalui mekanisme asesmen yang melibatkan tim terpadu, Ditresnarkoba Polda Jawa Timur dapat mengidentifikasi apakah seorang tersangka adalah pengguna yang membutuhkan rehabilitasi atau pelaku yang terlibat dalam jaringan peredaran gelap dan harus diproses secara hukum.

Penerapan restorative justice dalam kasus narkotika juga sejalan dengan peraturan Mahkamah Agung serta Surat Edaran Kejaksaan Agung yang memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan rehabilitasi bagi pengguna yang memenuhi syarat tertentu. Hal ini, Ditresnarkoba Polda Jawa Timur berperan dalam melakukan tindakan terhadap tersangka guna menentukan apakah yang bersangkutan dapat dialihkan ke proses rehabilitasi atau tetap diproses secara hukum.
Restorative justice tidak dapat diterapkan secara sembarangan dan hanya diberikan kepada pengguna narkotika yang memenuhi sejumlah kriteria. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pengguna yang dapat dipertimbangkan untuk mengikuti program rehabilitasi harus memenuhi beberapa syarat utama, di antaranya:

  1. Tertangkap tanpa barang bukti dalam jumlah besar, yang menunjukkan bahwa tersangka adalah pengguna, bukan pengedar.
  2. Bukan bagian dari jaringan peredaran gelap narkotika, yang berarti tidak ada indikasi bahwa yang bersangkutan berperan dalam kegiatan penyebaran narkoba.
  3. Tidak terlibat dalam tindak pidana lain yang berkaitan dengan narkotika, seperti produksi atau distribusi.
  4. Berdasarkan hasil asesmen tim terpadu, pengguna dinyatakan mengalami ketergantungan dan lebih membutuhkan rehabilitasi daripada sanksi pidana.
    Mekanisme penerapan restorative justice dalam kasus narkotika dimulai dengan proses penyelidikan dan penyidikan oleh Ditresnarkoba Polda Jawa Timur. Jika dalam proses tersebut ditemukan indikasi bahwa tersangka hanya merupakan pengguna dan bukan bagian dari jaringan peredaran, maka akan dilakukan tindakan oleh tim yang terdiri dari penyidik, Badan Narkotika Nasional (BNN), serta tenaga medis dan psikolog. Apabila hasil tindakan menunjukkan bahwa tersangka lebih membutuhkan perawatan dibandingkan pemidanaan, maka rekomendasi rehabilitasi akan diajukan kepada pihak kejaksaan dan pengadilan untuk disetujui sebagai bagian dari penyelesaian perkara secara restorative justice.
    ​Penerapan restorative justice dalam kasus pengguna narkotika memiliki sejumlah manfaat signifikan, baik bagi individu pengguna, sistem peradilan pidana, maupun masyarakat secara keseluruhan. Dari sisi individu, rehabilitasi memberikan kesempatan bagi pengguna untuk keluar dari jerat ketergantungan dan kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Dari sisi sistem peradilan pidana, restorative justice membantu mengurangi beban kepadatan lembaga pemasyarakatan, yang selama ini banyak dihuni oleh narapidana kasus narkotika. Dengan mengalihkan pengguna ke program rehabilitasi, sumber daya penegakan hukum dapat lebih difokuskan pada pemberantasan jaringan peredaran narkotika yang lebih besar dan berbahaya. Sementara itu, dari sisi masyarakat, penerapan pendekatan ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan aman dengan mengurangi angka penyalahgunaan narkotika secara lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan represif semata.
    ​Meskipun memiliki banyak manfaat, implementasi restorative justice dalam kasus narkotika masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah persepsi negatif dari sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa semua pelaku narkotika, termasuk pengguna, harus dihukum berat tanpa pengecualian. Selain itu, masih terdapat keterbatasan dalam fasilitas rehabilitasi serta koordinasi antar lembaga terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Badan Narkotika Nasional, yang harus terus diperbaiki agar sistem ini dapat berjalan dengan optimal. Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa pendekatan ini tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang ingin menghindari hukuman dengan berpura-pura sebagai pengguna. Oleh karena itu, proses tindakan yang ketat dan objektif menjadi sangat penting dalam menentukan siapa yang benar-benar berhak mendapatkan restorative justice dan siapa yang tetap harus diproses secara hukum.
    Restorative justice bagi pengguna narkotika merupakan langkah progresif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, termasuk dalam lingkup kerja Ditresnarkoba Polda Jawa Timur. Dengan berorientasi pada pemulihan dan rehabilitasi, pendekatan ini tidak hanya memberikan kesempatan bagi pengguna untuk keluar dari lingkaran ketergantungan, tetapi juga membantu mengurangi beban sistem peradilan dan meningkatkan efektivitas pemberantasan narkotika. Sehingga penerapan restorative justice dapat berjalan secara optimal, diperlukan komitmen dari semua pihak, mulai dari aparat penegak hukum, instansi terkait, hingga masyarakat luas. Sinergi yang baik antara lembaga kepolisian, BNN, kejaksaan, dan pengadilan menjadi kunci keberhasilan dalam menegakkan hukum yang lebih. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak positif dalam menekan angka penyalahgunaan narkotika serta menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan produktif.
Share to

Related News

Mahasiswa Kuliah Kerja Praktek Ditresnar...

by Mar 18 2025

Penulis Artikel : Shaskia Nabilla Miranda, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Sura...

Bukti Digital Dalam Persidangan : Apakah...

by Mar 18 2025

Penulis Artikel : Muhammad Aldi Kurniawan, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Sura...

Menggali Peran Notaris dan PPAT: Kunci K...

by Mar 18 2025

Penulis Artikel : Farah Salsabilla Azura Putri, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945...

Tempuh Kuliah Kerja Praktik Pada Kantor ...

by Mar 17 2025

Penulis Artikel : Tegar Satria DewaMahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 ...

Penegakan Hukum Keimigrasian Pada Perkar...

by Mar 17 2025

Penulis Artikel : Seza Aulia Gusti Kurnia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Sura...

Dilema Masyarakat Akan Fenomena “No Vi...

by Mar 16 2025

Penulis Artikel : Aradania Larasati Budiman, Dwi Natalia, Joanne Krisna Immanuella – Mahasiswa...

No comments yet.

Sorry, the comment form is disabled for this page/article.
back to top